BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan
raya merupakan salah satu prasarana transportasi yang dapat menunjang
pengembangan suatu wilayah. Semakin lancar transportasi maka semakin cepat
suatu wilayah berkembang. Meningkatnya jumlah penduduk akan diikuti dengan
meningkatnya kebutuhan sarana transportasi, sehingga perlu dilakukan
perencanaan jalan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk saat ini. Dewasa ini
manusia telah mengenal sistem perencanaan jalan yang baik dan mudah dikerjakan
serta pola perencanaannya yang makin sempurna.
Meskipun
perencanaan sudah makin sempurna, namun kita sebagai orang teknik sipil tetap
selalu dituntut untuk dapat merencanakan suatu lintasan jalan yang paling
efektif dan efisien dari alternatif-alternatif yang ada, dengan tidak
mengabaikan fungsi-fungsi dasar dari jalan. Oleh karena itu, dalam merencanakan
suatu lintasan jalan, seorang teknik sipil harus mampu menyesuaikan keadaan di lapangan
dengan teori-teori yang ada sehingga akan diperoleh hasil yang maksimal.
Dalam merencanakan suatu jalan raya
diinginkan pekerjaan yang relatif mudah dengan menghindari pekerjaan galian
(cut) dan timbunan (fill) yang besar. Dilain pihak kendaraan yang beroperasi di
jalan raya menginginkan jalan yang relatif lurus, tidak ada tanjakan atau
turunan. Objek keinginan itu sulit kita jumpai mengingat keadaan permukaan bumi
yang relatif tidak datar, sehingga perlu dilakukan perencanaan geometrik jalan,
yaitu perencanaan jalan yang dititik beratkan pada
perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu
memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas. Faktor yang menjadi
dasar perencanaan geometrik adalah sifat gerakan, ukuran kendaraan, sifat
pengemudi dalam mengendalikan gerak kendaraannya, serta karakteristik arus lalu
lintas. Hal – hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan perencana
sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak kendaraan yang
memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan.
Selain itu, juga harus diperhatikan elemen – elemen dari
perencanaan geometrik jalan, yaitu :
·
Alinyemen
horizontal
Pada gambar alinyemen horizontal, akan terlihat apakah jalan tersebut
merupakan jalan lurus, menikung ke kiri, atau ke kanan dan akan digambarkan
sumbu jalan pada suatu countur yang terdiri dari garis lurus, lengkung
berbentuk lingkaran serta lengkung peralihan dari bentuk lurus ke bentuk busur
lingkaran. Pada perencanaan ini dititik beratkan pada pemilihan letak dan
panjang dari bagian – bagian trase jalan, sesuai dengan kondisi medan sehingga terpenuhi
kebutuhan akan pergerakkan lalu lintas dan kenyamanannya.
·
Alinyemen
vertical
Pada gambar alinyemen vertikal, akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa
kelandaian, mendaki atau menurun. Pada perencanaan ini, dipertimbangkan
bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai dengan kondisi medan dengan memperhatikan fungsi - fungsi
dasar dari jalan tersebut. Pemilihan alinyemen vertikal berkaitan pula dengan
pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang
harus dilakukan
·
Penampang
melintang jalan
Bagian – bagian dari jalan seperti
lebar dan jumlah lajur, ada atau tidaknya median, drainase permukaan,
kelandaian serta galian dan timbunan.
Koordinasi yang baik antara bentuk alinyemen horizontal dan vertikal akan
memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan.
1.2
Maksud dan
Tujuan
Tujuan
dari perencanaan suatu jalan raya adalah untuk merencanakan suatu lintasan dan
dimensi yang sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR)
No. 13 tahun 1970, sehingga dapat menjamin keamanan dan kelancaran lalu lintas.
Dari perencanaan itu juga didapat suatu dokumen yang dapat memperhitungkan
bobot pekerjaan baik galian maupun timbunan, pekerjaan tanah dan sebagainya
sehingga bisa dilakukan perencanaan yang seekonomis mungkin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan
geometrik jalan raya adalah:
v
Kelas Jalan
v
Kecapatan rencana
v
Standar Perencanaan
v
Penampang melintang
v
Volume Lalu lintas
v
Keadaan Topografi
v
Alinyemen Horizontal
v
Alinyemen Vertikal
v
Bentuk Tikungan
1.2.1
Kelas jalan
Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya
didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat
lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.
1.2.2
Volume lalu
lintas
Volume lalu
lintas dinyatakan dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) yang besarnya menunjukkan
jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua jurusan.
1.2.3
Kecepatan rencana
Kecepatan rencana yang dimaksud adalah kecepatan
maksimum yang diizinkan pada jalan yang akan direncanakan sehingga tidak
menimbulkan bahaya bagi pemakai jalan tersebut. Dalam hal ini harus disesuaikan
dengan tipe jalan yang direncanakan.
1.2.4
Keadaan topografi
Untuk memperkecil biaya pembangunan, maka suatu
standar perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Dalam hal ini, jenis medan dibagi dalam tiga
golongan umum yang dibedakan menurut besarnya lereng melintang dalam arah
kurang lebih tegak lurus sumbu jalan.
Tabel 1.1 Klasifikasi Medan Dan Besanya Lereng Melintang
Golongan
Medan
|
Lereng
Melintang
|
Datar
(D)
|
0 sampai
9%
|
Perbukitan
(B)
|
10 sampai
24,9%
|
Pegunungan
(G)
|
>
25%
|
Adapun
pengaruh keadaan medan
terhadap perencanaan suatu jalan raya meliputi hal-hal sebagai berikut :
a.
Tikungan :
Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa sehingga terjamin
keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan pandangan bebas harus cukup
luas.
b. Tanjakan
: Dalam perencanaan diusahakan agar
tanjakan dibuat dengan kelandaian
sekecil mungkin.
1.2.5
Alinyemen
horizontal
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang
tegak lurus pada bidang peta yang terdiri dari garis – garis lurus yang
dihubungkan dengan garis – garis lengkung yang dapat berupa busur lingkaran
ditambah busur peralihan ataupun lingkaran saja.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah
bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang dapat
melemparkan kendaraan ke luar daerah tikungan yang disebut gaya sentrifugal. Atas dasar itu maka
perencanaan tikungan diusahakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan,
sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a.
Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecapatan
rencana ditentukan berdasarkan miring maksimum denagn koefisien gesekan
melintang maksimum.
b.
Lengkung peralihan adalah lengkung pada tikungan yang
dipergunakan untuk mengadakan peralihan dari bagian lurus ke bagian lengkung
atau sebaliknya.
1.2.6
Alinyemen vertikal
(profil memanjang)
Alinyemen vertikal adalah biang tegak yang melalui sumbu
jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi
rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap
kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (dimana truck
digunakan sebagi kendaraan standar), alinyemen vertikal sangat erat hubungannya
dengan besar biaya pembangunan, biaya penggunaan, maka pada alinyemen vertikal
yang merupakan bagian kritis justru pada bagian yang lurus.
A. Landai maksimum
Kelandaian
maksimum hanya digunakan bila pertimbangan biaya sangat memaksa dan hanya untuk
jarak yang pendek. Panjang kritis landai dimaksudkan adalah panjang yang masih
dapat diterima tanpa mengakibat gangguan jalannya arus lalu lintas (panjang ini
mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum 25 km/jam). Bila pertimbangan
biaya memaksa, maka panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur
khusus untuk kendaraan berat.
B. Landai
Minimum
Pada setiap penggantian landai
dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase yang
baik. Disini digunakan lengkung parabola biasa.
1.2.7
Penampang
melintang
Penampang melintang jalan adalah
pemotongan suatu jalan tegak lurus sumbu jalan, yang menunjukkan bentuk serta susunan
bagian – bagian jalan dalam arah melintang.
Penampang melintang jalan yang
digunakan harus sesuai dengan kelas jalan dan kebutuhan lalu lintas yang
dilayaninya. Penampang melintang
utama dapat dilihat pada daftar I PPGJR.
a. Lebar perkerasan
Pada
umumnya lebar perkerasan ditentukan berdasarkan lebar jalur lalu lintas normal
yang besarnya adalah 3,5 meter sebagaimana tercantum dalam daftar I PPGJR,
kecuali:
-
Jalan penghubung dan jalan kelas II
c = 3,00 meter
- Jalan utama = 3,75 meter
b. Lebar bahu
Untuk jalan kelas III lebar bahu jalan
minimum adalah 1,50 – 2,50 m untuk semua jenis medan.
c. Drainase
Drainase
merupakan bagian yang sangat penting pada suatu jalan, seperti saluran tepi,
saluran melintang, dan sebagainya, harus direncanakan berdasarkan data
hidrologis setempat seperti intensitas hujan, lamanya frekuensi hujan, serta
sifat daerah aliran.
d. Kebebasan pada jalan raya
Kebebasan
yang dimaksud adalah keleluasaan pengemudi di jalan raya dengan tidak
menghadapi rintangan. Lebar kebebasan ini merupakan bagian kiri kanan jalan
yang merupakan bagian dari jalan (PPGJR No. 13/1970).
1.2.8
Bentuk Tikungan
Bentuk
tikungan pada suatu jalan raya ditentukan oleh tiga faktor:
1. Sudut tangent (∆) yang besarnya dapat
diukur langsung pada peta
2. Kecepatan rencana, tergantung dari kelas
jalan yang akan direncanakan.
3.
Jari – jari kelengkungan
1.3 Ruang Lingkup Perencanaan
Dalam tugas
perencanaan ini, perhitungan dilakukan terdiri dari beberapa tinjauan. Peninjauan
ini meliputi :
1. Penentuan
lintasan
· Jarak lintasan
· Sudut azimut
· Kemiringan jalan
· Elevasi jalan pada titik kritis
· Luas tampang
2. Alinyemen horizontal
· Spiral Circle Spiral, digunakan pada
tikungan yang mempunyai jari – jari kecil dan sudut tangen yang relatif besar.
· Full Circle, digunakan pada tikungan yang
mempunyai jari – jari besar dan sudut tangen yang relatif kecil.
3. Alinyemen vertikal
· Lengkung vertikal cembung
· Lengkung vertikal cekung
4. Galian dan timbunan
5. Pekerjaan Tanah/kubikasi.
BAB II
TINJAUAN
KEPUSTAKAAN
2.1
Bagian Perencanaan
Dalam tugas perencanaan ini, perhitungan
dilakukan terdiri dari beberapa tinjauan. Peninjauan ini meliputi penentuan
lintasan, alinyemen horizontal, alinyemen vertikal, penampang melintang, dan kubikasi.
2.2
Rumus-Rumus Yang Digunakan
2.2.1
Alinyemen horizontal (Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Dasar-Dasar
Perencanaan Geometrik Jalan” oleh Silvia Sukirman).
· Spiral Circle Spiral
θc = ∆ - 2 θs
Lc =
L = Lc
+ 2Ls
p =
k =
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es =
dengan:
Rc = jari–jari lengkung yang direncanakan (m)
∆ = sudut
tangen
θs =
sudut putar
Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Ls = panjang lengkung spiral (m)
Lc = panjang lengkung circle (m)
· Full circle
TC = RC tan ½ ∆
EC = TC tan 1/4 ∆
LC = 0,01745 ∆ RC
dengan:
R = Jari–jari lengkung minimum (m)
∆ = Sudut tangen
Ec = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang bagian tikungan (m)
Tc = Jarak antara TC dan PI (m)
2.2.2
Alinyemen vertikal (Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Perencanaan Trase Jalan Raya” oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun 2005).
·
Lengkung
vertikal cembung
A
= g1- g2
Ev =
Lv diambil
berdasarkan gambar 5.1 (Buku:
Perencanaan Trase Jalan Raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun 2005, hal: 34)
dengan:
Ev = Pergeseran vertikal dari
titik PPV ke bagian lengkung
g1 = aljabar kelandaian
lintasan pertama
g2 = aljabar kelandaian lintasan kedua
A =
perbedaan aljabar kelandaian (%)
Lv =
panjang lengkung (m)
·
Lengkung
vertikal cekung
Rumus-rumus
yang digunakan sama dengan lengkung vertikal cembung, namun pada saat penentuan
Lv digunakan gambar 5.2 (Buku: Perencanaan Trase Jalan Raya oleh Bukhari R.A
dan Maimunah,tahun 2005, hal: 34)
2.2.3
Galian (cut)
dan timbunan (fill)
Rumus-rumus yang digunakan adalah rumus-rumus luas segitiga,
segiempat, trapesium dan untuk keadaan tertentu dipakai rumus interpolasi serta
untuk perhitungan volume digunakan rumus kubus dan kerucut.
·
Luas segiempat
A = P x L
dengan:
A = luas
segiempat (m2)
P = panjang (m)
L = lebar (m)
·
Luas segitiga
A =
½ a x t
dengan:
A = luas segitiga (m2)
a = panjang sisi alas (m)
t = panjang sisi tegak (m)
· Luas trapesium
A = ½ (a + b) x t
dengan:
A = luas segitiga (m2)
a = panjang sisi atas (m)
b = panjang sisi bawah (m)
t = panjang sisi tegak (m)
· Interpolasi
ax
= b. L – b . x
ax
+ bx = b. L
(a
+ b)x = b. L
x =
2.2.4
Stationing (STA)
(Berdasarkan
rumus-rumus di buku ”Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan” oleh Silvia
Sukirman).
Sta TC =
Sta titik A + d1 – T
Sta CT =
Sta TC + Lc
Sta TS =
Sta CT + (d2 – T – Ts)
Sta SC =
Sta TS + Ls
Sta CS =
Sta SC + Lc
Sta ST =
Sta CS + Ls
2.2.5
Perkerasan jalan
Dalam perencanaan tebal lapisan perkerasan dibituhkan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi pelayanan konstruksi perkerasan
jalan seperti :
1. Data Kendaraan.
2. Klasifikasi Jalan
3. Umur Rencana
4. Data Pertumbuhan Laju Lalu lintas
5. Iklim/Curah hujan
6. Data Kelandaian
7. Jenis Lapisan perkerasan, lapisan pondasi
atas dan lapisan pondasi bawah yang akan digunakan pada perkerasan
8. Data CBR
BAB III
METODOLOGI
3.1
Penentuan
Lintasan (Trase Jalan)
Trase
rencana lintasan ditentukan berdasarkan peta topografi yang disediakan, dimana
titik asal (origin) dan tujuan (destination) telah ditentukan, kemudian
dilakukan pencarian lintasan. Langkah awal adalah dengan memperhatikan situasi
medan, countur tersebut terus ditelusuri untuk mencari lintasan yang sesuai
dengan PPGJR (Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya) No. 13 Tahun 1970
serta ketentuan – ketentuan lain yang diberlakukan dalam tugas perencanaan ini.
Perhitungan pertama dilakukan dengan cara
menentukan titik koordinat, sehingga kita bisa mengetahui jarak masing-masing
pias lintasan dan sudut azimut yang dibentuk. Dari peta countur bisa diketahui
elavasi muka tanah, sehingga bisa ditentukan kemiringan masing-masing lintasan.
Selanjutnya dicari elevasi jalan di masing-masing titik kritis, sehingga akan
diketahui pada titik tersebut berupa galian ataupun timbunan. Adapun galian dan
timbunan ini tidak boleh melebihi syarat yang telah ditentukan yaitu, galian
harus lebih kecil dari 8 meter dan timbunan harus lebih kecil dari 5 meter.
Dengan adanya titik kritis ini, maka bisa
digambarkan sketsa lintasan sehingga dari sketsa lintasan tersebut bisa
diketahui luas penampang galian dan timbunan. Jika luas penampang galian dan
timbunan tidak sama dengan nol, maka harus dilakukan penyesuaian lintasan
sehingga sama dengan nol ataupun mendekati nol dengan batas toleransi 10%.
Akibat penyesuaian lintasan ini, maka
kemiringan lintasan dan keadaan muka jalan dimasing-masing titik akan berubah.
Karena terjadi perubahan maka kemiringan dan keadaan muka jalan harus dihitung
kembali.
3.2 Merencanakan
Alinyemen Horizontal
Perencanaan alinyemen horizontal merupakan
perencanaan tikungan lengkap dengan komponen-komponennya. Pada perencanaan ini
tikungan yang direncanakan ada dua jenis yaitu Spiral-Circle-Spiral dan Full
Circle. Spiral-Circle-Spiral direncanakan untuk tikungan yang sudut tangennya
relatif besar, sedangkan Full Circle direncanakan dengan jari-jari besar dan sudut tangen yang relatif
besar.
a.
Bentuk Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
Dengan data-data yang diketahui:
V =
60 km/jam
en =
2 %
·
R direncanakan dengan ketentuan R yang diambil
pada table 4.7 (Buku: dasar-dasar perencanaan geometric jalan raya oleh Silvia
Sukirman, hal 113). Syarat pengambilan R, nilai Lc > 20 m. Dengan adanya R
maka bisa diketahui e dan Ls-nya.
·
Dihitung besar sudut spiral (θs)
·
Dihitung besar pusat busur lingkaran (θc)
·
Dihitung panjang lengkung lingkaran (Lc)
·
Dihitung masing-masing untuk nilai L,p,k
·
Dihitung nilai Ts
·
Dihitung nilai Es
Keterangan
:
R = jari – jari lengkung yang
direncanakan (m)
es = sudut putar
Es = jarak PI ke lengkung peralihan
(m)
Ls = panjang lengkung spiral (m)
Lc = panjang lengkung circle (m)
b . Full Circle
Dengan data-data yang diketahui:
V =
60 km/jam
en =
2 %
·
R direncanakan dengan ketentuan R yang diambil
pada table 4.7 (Buku: dasar-dasar perencanaan geometric jalan raya oleh Silvia
Sukirman, hal 113). Syarat pengambilan R, nilai Lc > 20 m. Dengan adanya R
maka bisa diketahui e dan Ls-nya.
·
Dihitung nilai Tc
·
Dihitung nilai Ec
·
Dihitung nilai Ec
Gambar
bentuk tikungan Full Circle (FC):
Dengan
:
Rc = Jari – jari lengkung minimum (m).
Ec = Jarak PI ke lengkung peralihan (m).
Lc = Panjang bagian tikungan (m).
TC = Jarak antara TC dan PI (m).
3.3 Merencanakan Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal merupakan bidang tegak yang
melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Alinyemen vertikal
(lengkung vertikal) ini ada dua yaitu lekung vertikal cekung dan lengkung
vertikal cembung. Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangen berada dibawah permukaan jalan. Lengkung
vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen
berada diatas permukaan jalan yang bersangkutan.
Langkah-langkah
perhitungannya:
1.
Untuk lengkung vertikal cekung
· Dihitung perbedaan aljabar kelandaian (A)
· Dengan diketahui nilai A dan V, maka dari
gambar 5.2 (Buku: perencanaan trase jalan raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah,
hal:34) didapat nilai Lv
· Kemudian dihitung nilai Ev
2. Untuk lengkung vertikal cembung
· Hitung perbedaan aljabar kelandaian (A),
dengan rumus A = g1-g2
· Dengan diketahui nilai A dan V, maka dari
gambar 5.1 (Buku: perencanaan trase jalan raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah,
hal:34) didapat nilai Lv
· Kemudian dihitung nilai Ev
3.4 Perhitungan
Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)
Dimulai
dengan cara menggambarkan potongan penampang melintang jalan disetiap titik
tinjauan dan titik kritis, lalu mengambil elevasi dari peta countur selebar permukan
jalan ditambah bahu dan elevasi muka jalan yang telah dihitung. Maka, dengan
data-data tersebut bisa dihitung luas permukaan penampang melintangnya. Namun
sebelumnya ditentukan dahulu kemiringan permukaan tanah pada tepi bahu yaitu 1 :
2.
Untuk
potongan penampang melintang jalan yang ada galian dan timbunan nya pada satu
titik, maka perlu dilakukan interpolasi untuk mengetahui batas galian dan
timbunan. Setelah mengetahui luas penampang melintangnya, maka bisa dilakukan
perhitungan volume yaitu dengan cara mengalikan luas penampang melintang jalan
dengan jarak per pias yang ditinjau. Jika pada pias tersebut sebagian galian
dan sebagian timbunan maka harus dilakukan kembali interpolasi.
Rumus-rumus
yang digunakan untuk menghitung luas adalah rumus luas persegi panjang dan
rumus luas segitiga. Sedangkan volume dihitung juga dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan bidang persegi panjang, bidang segitiga dan bidang
kerucut.
3.5 Penomoran Panjang Jalan (Stasioning)
Sta jalan dimulai dari 0+000 m yang berarti 0 km
dan 0 m dari awal pekerjaan. Sta 19+870 berarti lokasi jalan terletak pada
jarak 19 km dan 870 meter dari awal pekerjaan. Jika tidak terjadi perubahan
arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal, maka penomoran
selanjutnya dilakukan:
· setiap 100 m pada medan datar
· setiap 50 m pada medan bukit
· setiap 25 m pada medan pengunungan
Pada perencanaan ini penomoran
dilakukan pada setiap titik penting dan titik yang akan jadi tinjauan untuk
perhitungan volume cut and fill. Sehingga dengan adanya Sta ini, dapat memudahkan penulis dalam menentukan
jarak per piasnya.
3.6 Perencaan perkerasan jalan
3.6.1
Perhitungan Tebal Lapisan Perkerasan
Untuk merencanakan Lapisan Tebal
Perkerasan pada perencanaan konstruksi jalan raya, data-datanya yaitu :
1. Komposisi kendaraan awal umur rencana pada
tahun 2005
2. Klasifikasi Jalan
3. Jenis Jalan
4. Lebar Jalan
5. Arah Jalan
6. Umur Rencana
7. Pertumbuhan lalu lintas
8. Curah hujan rata-rata pertahun
9. Kelandaian jalan
10. Jenis lapisan perkerasan yang digunakan
11. Data CBR
3.6.2
Menghitung LHR ( Lintas Harian Rata-Rata)
LHR
di dapat dari data volume lalu lintas yang dapat diperoleh dari pos-pos rutin
yang ada di sekitar lokasi perencanaan. Jika tidak terdapat pos-pos rutin di
dekat lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan volume lalu lintas dapat
dilakukan secara manual ditempat-tempat yang di anggap perlu.
( 1+ i )n
|
3.6.3
Menentukan Angka Ekivalen
Angka
ekivalen kendaraan adalah angka yang menunjukkan jumlah lintasan dari sumbu
tunggal yang akan menyebabkan kerusakan yang sama apabila kendaraan tersebut
lewat satu kali. Angka ekivilen per sumbu dapat dilihat pada tabel di bawah :
Tabel
3.1 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu
|
Angka Ekivalen
|
||
Kg
|
Lb
|
Sumbu Tunggal
|
Sumbu Ganda
|
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
8160
9000
10000
11000
12000
13000
14000
15000
16000
|
2205
4409
6614
8818
11023
13228
15432
17637
18000
19841
22046
24251
26455
28660
30864
33069
35276
|
0,0002
0,0036
0,0183
0,0577
0,1410
0,2923
0,5415
0,9238
1,000
1,4798
2,2555
3,3022
4,6770
6,4419
8,6647
11,4184
14,7815
|
-
0,0003
0,0016
0,0050
0,0121
0,0251
0,0466
0,0795
0,086
0,1273
0,1940
0,2840
0,4022
0,5540
0,7452
0,9820
1,2712
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Angka ekivalen juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
E sumbu tunggal = (beban sumbu tunggal, kg/8160)4
E sumbu ganda = (beban sumbu ganda, kg/8160)4 x
0,086
3.6.4
Menentukan LEP
Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) ditentukan
dari jumlah rata-rata dari sumbu tunggal pada jalur rencana yang diperkirakan
terjadi pada awal umur rencana
Rumus
Dengan :
Cj
= Koefisien
distribusi kendaraan pada jalur rencana
Ej
= Angka
ekivalen beban sumbu untuk jenis kendaraan
3.6.5
Menentukan LEA
Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
ditentukan dari jumlah lalu lintas harian rata-rata dari sumbu tunggal yang
diperkirakan terjadi pada akhir umur rencana.
Rumus
Dengan :
i = Perkembangan
lalu lintas
UR = Umur
rencana
Cj
= Koefisien
distribusi kendaraan pada jalur rencana
Ej
= Angka
ekivalen beban sumbu untuk jenis kendaraan
3.6.6
Menentukan LET
Lintas ekivalen tengah dapat dicari
dengan menggunakan rumus
Rumus
LET =
(LEP + LEA) / 2
|
3.6.7
Menentukan LER
LER = LET x FP
|
Rumus
Dengan
:
FP = Faktor Penyesuaian =
UR/10
3.6.8
Penentuan Harga CBR
Subgrade
atau lapisan tanah dasar merupakan lapisan yang paling atas, diatas mana
diletakkan lapisan dengan material yang lebih baik. Di indonesia daya dukung
tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan ditentukan dengan
menggunakan pemeriksaan CBR. Setelah didapatkan data CBR untuk kemudian dicari
nilai CBR segmennya. Dapat digunakan rumus :
CBR segmen = CBR rata-rata – CBR max – CBR min
R
Untuk nilai R
tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam 1 segmen. Besarnya nilai R.
Tabel 3.2 Nilai R Untuk Perhitungan CBR Segmen
Jumlah titik pengamatan
|
Nilai R
|
2
|
1,41
|
3
|
1,91
|
4
|
2,24
|
5
|
2,48
|
6
|
2,67
|
7
|
2,83
|
8
|
2,96
|
9
|
3,08
|
>10
|
3,18
|
3.6.9
Menentukan Tebal Lapisan Perekerasan
a. Menentukan Nilai DDT (Daya Dukung Tanah)
Dari hasil pemeriksaan data CBR, kita
dapat menentukan nilai DDT.
b. Menentukan Faktor Regional (FR)
Faktor regional berguna untuk
memperhatikan kondisi jalan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Untuk mendapatkan nilai FR, terlebih dahulu harus didapatkan nilai persen
kendaraan berat. Data-data untuk menghitung
% kendaraan berat didapat dari data komposisi kendaraan rencana awal.
Dapat digunakan rumus :
% kendaraan berat = Jumlah kendaraan berat x 100 %
Jumlah
semua kendaraan
Nilai FR dapat kita lihat pada tabel
dibawah :
Tabel 3.3 Faktor Regional
Curah Hujan
|
Kelandaian I ( < 6 %)
|
Kelandaian II
(6-10%)
|
Kelandaian III
(> 6 %)
|
|||
% kendaraan berat
|
% kendaraan berat
|
% kendaraan berat
|
||||
≤ 30 %
|
> 30 %
|
≤ 30 %
|
> 30 %
|
≤ 30 %
|
> 30 %
|
|
Iklim I < 900 mm/th
|
0,5
|
1,0 – 1,5
|
1,0
|
1,5 – 2,0
|
1,5
|
2,0 – 2,5
|
Iklim II > 900 mm/th
|
1,5
|
2,0 – 2,5
|
2,0
|
2,5 – 3,0
|
2,5
|
3,0 – 3,5
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
c. CBR tanah dasar rencana
Nilai CBR yang di dapat melalui
metode grafis dan analitis.
d. Indeks Permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat
dari nilai LER dan tabel indeks permukaan di bawah ini.
Tabel 3.4 Indeks Permukaan pada
akhir umur rencana
Lintas Ekivalen Rencana
|
Klasifikasi Jalan
|
|||
Lokal
|
Kolektor
|
Arteri
|
Tol
|
|
< 10
10 – 100
100 – 1000
> 1000
|
1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
|
1,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
|
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
2,5
|
-
-
-
2,5
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
e. Indeks Permukaan pada awal umur rencana (ITP)
ITP dapat ditentukan melalui grafik
nomogram. Untuk menentukan ITP dari grafik nomogram di perlukan data sebagai
berikut, IP, IPo, DDT, LER, dan FR. Untuk mendapatkan angka Ipo, dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3.5
Indeks Permukaan pada awal umur rencana
Jenis Lapis Perkerasan
|
IPo
|
Roughness (mm/km)
|
LASTON
LASBUTAG
HRA
BURDA
BURTU
LAPEN
LATASBUM
BURAS
LATASIR
JALAN TANAH
JALAN KERIKIL
|
≥ 4
3,9-3,5
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,9 – 3,5
3,4 – 3,0
3,4 – 3,0
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
2,9 – 2,5
≤ 2,4
≤ 2,4
|
≤ 1000
>1000
≤ 2000
>2000
≤ 2000
>2000
< 2000
< 2000
≤ 3000
>3000
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
f. Menetapkan Tebal Perkerasan
Variabel-variabel untuk menetapkan lapisan
tebal perkerasan dilihat pada tabel-tabel berikut.
Tabel 3.6 batas-batas minimum
tebal lapisan perkerasan untul lapis permukaan
ITP
|
Tebal Minimum (cm)
|
Bahan
|
< 3,00
3,00 – 6,70
6,71 – 7,49
7,50 – 9,99
≥10,00
|
5
5
7,5
7,5
10
|
Lapis pelindung :
(Buras/Burtu/Burdu)
Lapen/Aspal Macadam, HRA,
Lsbutag, Laston
Lapen/Aspal Macadam, HRA,
Lsbutag, Laston
Lasbutag, Laston
Laston
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Tabel 3.7 batas-batas minimum
tebal lapisan perkerasan untul lapis pondasi
ITP
|
Tebal Minimum (cm)
|
Bahan
|
< 3,00
3,00 – 7,49
7,50 – 9,99
10 – 12,14
≥12,25
|
15
20
10
20
15
20
25
|
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur
Laston Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam
Laston Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston
atas
Batu pecah, stabilisasi tanah
dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston
atas
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Tabel 3.8 Koefisien Kekuatan
Relatif
Koefisien Kekuatan Relatif
|
Kekuatan Bahan
|
Jenis Bahan
|
||||
a1
|
a2
|
a3
|
MS
(kg)
|
Kt(kg/cm)
|
CBR %
|
|
0,40
0,35
0,32
0,30
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
744
590
454
340
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
LASTON
|
0,35
0,32
0,28
0,26
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
744
590
454
340
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
LASBUTAG
|
0,30
0,26
0,25
0,20
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
340
340
-
-
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
HRA
MACADAM
LAPEN (MEKANIS)
LAPEN (MANUAL)
|
-
-
-
|
0,28
0,26
0,24
|
-
-
-
|
590
454
340
|
-
-
-
|
-
-
-
|
LASTON ATAS
|
-
-
|
0,23
0,19
|
-
-
|
-
-
|
-
-
|
-
-
|
LAPEN (MEKANIS)
LAPEN (MANUAL)
|
-
-
|
0,15
0,13
|
-
-
|
-
-
|
-
-
|
-
-
|
Stab tanah dengan semen
|
-
-
|
0,15
0,13
|
-
-
|
-
-
|
22
18
|
-
-
|
Stab dengan kapur
|
-
-
-
-
-
-
|
0,14
0,13
0,12
-
-
-
|
-
-
-
0,13
0,12
0,11
|
-
-
-
-
-
-
|
-
-
-
-
-
-
|
100
80
60
70
50
30
|
Batu pecah (Kelas A)
Batu pecah (Kelas B)
Batu pecah (Kelas C)
Sirtu/pitrun (Kelas A)
Sirtu/pitrun (Kelas B)
Sirtu/pitrun (Kelas C)
|
-
|
-
|
0,10
|
-
|
-
|
20
|
Tanah Lempung Kepasiran
|
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
BAB IV
PERENCANAAN ALINYEMEN HORIZONTAL
Direncanakan pembuatan jalan kelas III untuk jalan
penghubung. Peraturan Perencanaan Jalan Raya (PPGJR) N0.13/1970 standar
geometrik adalah sebagai berikut:
- Klasifikasi
Jalan =
Kelas III
- Kecepatan
Rencana =
60 km/jam
- Lebar
perkerasan =
7 m
- Lebar Bahu
jalan =
2 x 1,5 m
- Miring
Melintang Jalan (Transversal) =
2 %
- Miring
Melintang Bahu Jalan = 4 %
- Miring memanjang jalan (longitudinal) maksimal = 10 %
- Kemiringan
Talud =
1 : 1
5.1 Lengkung horizontal I ( S – S )
Menggunakan tikungan
jenis Spiral-Spiral dengan Rc = 477 m
Vr =
60 km/jam
Lebar jaln = 2 x
3,5 m ; e max = 2 %
Dari table 4.7
(Metode Bina Marga), didapat e = 0,042
v
Besar Sudut Spiral
dari tabel 4.10 silvia sukirman diperoleh
p* =
0,0147400
k* =
0,4994880
p = Ls x p*
= 166,42 x 0,0147400
p = 2,4530308 m
k = Ls x k*
= 166,42 x 0,4994880
k = 83,124793 m
Ts = ( Rc + p) tg 1/2
+ k
=
(477 + 2,453031) tg ½ .
20 + 83,12479
Ts = 167,6653 m
Es = (Rc + p) cos ½
- Rc
=
(477 + 2,453031) cos ½ . 20 - 477
Es = 9,8493666
L = 2 Ls
=
2 x 166,42
L = 332,84 m
Ls minimum berdasarkan landai relatif
menurut metode bina marga adalah :
m = 125 (dari tabel 4.5 silvia sukirman)
Lsmin = m (e +en) B
= 125 (0,042 + 0,02) x 3,5
Lsmin = 27,125 m
Ls >
Lsmin
166,42 m > 27,125 m (OK)
Kontrol :
Ls
< 2 Ts
166,42 m < (2 x 167,6653) m
166,42 m < 335,3306 m (OK)
Landai relatif BM = [(0,02 +
0,042) x 3,5] / 166,42 = 0,0013%
Kelandaian Relatif maksimum untuk kecepatan rencana 60 km/jam adalah :
Kontrol :
0,0013% < 0,008
% (OK)
5.2 Lengkung Horizontal II ( S – C – S )
Menggunakan
lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral – Lingkaran
–Spiral), perhitungan sebagai berikut:
V = 60
Km/Jam
Direncanakan
jari-jari Rc = 358 m
Melalui tabel 4.7 (silvia : 113) diperoleh : e =
0,054 dan Ls = 50
v
Besar Sudut Spiral
v
Besar pusat busur lingkaran
= 25- (2 x 4,003131)
v
Panjang lengkung circle
dari
tabel 4.10 silvia sukirman diperoleh
p* = 0,005859
k* = 0,4999186
p = Ls x p*
= 50 x 0,005859
P = 0,292945 m
k = Ls x k*
= 50 x 0,4999186
k = 24,99593 m
Ts =
( Rc + P) tg 1/2
+ k
= (358
+ 0,292945) tg ½ . 25 + 24,99593
Ts = 104,4276 m
Es = (Rc
+ p) cos ½
- Rc
= (358 + 0,292945) cos ½ . 25 – 358
Es =
8,992126
L = Lc + 2 Ls
=
+ (2 x 50)
L = 206,1278 m
Kontrol :
L < 2 Ts
206,1278 m <
(2 x 104,4276) m
206,1278
m < 208,8551 m (OK)
Landai relatif BM = [(0,02 + 0,054) x 3,5] / 50 = 0,00518 %
Kelandaian
Relatif maksimum untuk kecepatan rencana 60 km/jam adalah :
Kontrol :
0,00518 % < 0,008 % (OK)
Rekapitulasi Alinyemen Horizontal
No.
|
1
|
2
|
PI STA
|
264
m
|
180
m
|
Δ
|
20 o
|
25 o
|
VR
|
60 km/jam
|
60 km/jam
|
RC
|
477 m
|
358 m
|
LS
|
166,42 m
|
50 m
|
θ S
|
10 o
|
4,003 o
|
θ C
|
-
|
16,99 o
|
p*
|
0,0147400
|
0,005859
|
k*
|
0,4994880
|
0,4999186
|
p
|
2,4530308 m
|
0,292945 m
|
k
|
83,124793 m
|
24,99593 m
|
TS
|
167,6653 m
|
104,4276 m
|
E S
|
9,8493666 m
|
8,992126 m
|
L C
|
-
|
106,104 m
|
L
|
332,84 m
|
206,1278 m
|
e
|
0,054
|
0,042
|
Landai Relatif
|
0,0013
|
0,00518
|
Jenis lengkung
|
S-S
|
S-C-S
|
5.3 Perhitungan Stasioning
Horizontal
A. Lengkung Horizontal I (S- S)
Dari perhitungan lengkung
horizontal I diperoleh:
Sta PA =
0 + 0.00
Sta PT1 = Sta
PA + D1
=
0.00 + (26,4 x 50) = 1320 m
Sta TS1 =
Sta PA + D1 - Ts1
= (0.00
+ 1320) - 167,6653 = 1152,3347 m
Sta SC1 = Sta TS1 + Ls1
=
1152,3347 + 166,42 = 1318,7547 m
Sta CS1 = Sta
SC1
= 1318,7547 m
Sta ST1 = Sta
CS1 + Ls1
=
1318,7547
+ 166,42 = 1485,1747 m
B. Lengkung Horizontal II (S-C-S)
Dari perhitungan lengkung
horizontal I I diperoleh:
Sta PT2 = Sta ST1 + (D2) -TS1
= 1485,1747
+ (18 x 50) -167,6653 = 2217,5094
m
Sta TS2 = Sta
PT2 - TS2
= 2217,5094
- 104,4276 = 2113,0818 m
Sta SC2
= Sta TS2 + LS2
= 2113,0818 + 50 = 2163,0818 m
Sta CS2
= Sta SC2 + Lc
= 2163,0818
+ 106,104 = 2269,1858 m
Sta ST2
= Sta CS2 + LS2
= 2269,1858
+ 50 = 2319,1858 m
Sta Akhir Proyek = Sta ST2 + (D3) – TS
= 2319,1858 +
(27,9 x 50) – 104,4276
=
3609,7582 m
Kontrol :
3609,7582
m < (D1)
+ (D2) +(D3)
3609,7582
m < (26,4
x 50) + (18 x 50) + (27,9 x
50)
3609,7582 m
< 3615
m (OK)
5.4 Perhitungan Kebebasan Samping
ü
Jarak
pandang Henti ( JPH )
Jarak
pandang Henti tikungan I dan II dengan data sebagai berikut :
V ( Kecepatan kendaraan
) : 60 km/jam
T ( Waktu rencana ) : 2,5 s
F ( koefesian gesek antara ban dan
perkerasan menurut AASHTO untuk kecepatan 60 km/jam ) = 0,33
JPHmn ( Jarak pandang henti minimum
( Tabel Spesifikasi standar untuk perencanaan geometric jalan luar kota Bina
Marga,1990 ) = 75 - 85 m
d1 =
Jarak yang ditempuh dalam waktu
standar.
d1 = 0.278
. V t
= 0.278
. 60 . 2.5
d1 = 41,7
m
d2 ( Jarak Pengereman )
d2 =
=
d2 =
42,95
m
JPH =
d1 + d2
=
41,7 + 42,95
JPH =
84,65 m
Karena JPH > JPHmin maka dalam perencanaan dipakai nilai
JPH =
84,65 m
ü Perhitungan kebebasan samping
• Tikungan I (tikungan Spiral
- Spiral)
R =
143 m
V = 60
km/jam
JPH = 84,65
m
m = (
JPH )² : 8.R
=
( 84,65 )² : 8.143
m = 6,26
m
Jadi
kebebasan samping tikungan I = 6,26 m
• Tikungan
II (tikungan Spiral-Circle-Spiral)
R = 358 m
V = 60
km/jam
JPH = 84,65
m
m = (
JPH )² : 8.R
= (84,65)² : 8 . 358
m = 2,50
m
Jadi
kebebasan samping tikungan II = 2,50 m
ü Perhitungan pelebaran pada tikungan
• Tikungan I (tikungan Spiral - Spiral)
Diketahui :
d1 = 1320 m
Ls = 166.42 m
e max = 0,054
en = 2 %
V = 60 km/jam
R = 477 m
Jumlah Jalur = 2 m
Bn = 2 x 3,5 = 7 m
Lebar Jalan = 3,5
m
Di dapatkan data dari buku-buku ” Dasar-
dasar perencanaan geometrik jalan ” truck tunggal sebagai kenderaan rencana
(daerah bukit)
R = Jarak gander (6,5)
A = Panjang tonjolan depan (diukur dari gander depan = 1,5 m)
b = Lebar kenderaan rencana 2,5 m
C = Kebebasan samping 1 m
Pelebaran Perkerasan
B =
Rc = R
– ¼ x lebar perkerasan + ½ b
=
477 – ¼ x 3,5 + ½ 2,5
Rc = 477,375 m
Maka
:
B =
= √ (√(477,3752 – (6,5+1,5) 2 + ½ 2,5) + (6,5+1,5) 2)
- (√(477,3752 – (6,5+1,5) 2 + ½ 2,5
= √ (√(477,3752 – 64 + 1,25)
2 + 64) – (√(477,3752 – 64 + 1,25)
= 478.62-477.30 +1,25
B = 2,57 m
Z = 0,105
.
= 0,105 .
Z = 0,013 m
Bt = n
(B+C) + Z
= 2
(2,57 +1) + 0,013
Bt = 7,513 m
Maka
lebarnya perkerasan pada tikungan I
= 7,513 – 3,5
• Tikungan II (tikungan
Spiral-Circle-Spiral)
Diketahui :
d2 = 900 m
Ls = 50 m
e max = 0,042
en = 2 %
V = 60 km/jam
R = 358 m
Jumlah Jalur = 2 m
Bn = 2 x 3,5 = 7 m
Lebar Jalan = 3,5
m
Di dapatkan data dari buku-buku ” Dasar-
dasar perencanaan geometrik jalan ” truck tunggal sebagai kenderaan rencana
(daerah bukit)
R = Jarak gander (6,5)
A = Panjang tonjolan depan (diukur dari gander depan = 1,5 m)
b = Lebar kenderaan rencana 2,5 m
C = Kebebasan samping 1 m
Pelebaran Perkerasan
B =
Rc = R
– ¼ x lebar perkerasan + ½ b
=
358 – ¼ x 3,5 + ½ 2,5
Rc = 358,375
m
Maka
:
B =
= √ (√(358,375 2 – (6,5+1,5) 2
+ ½ 2,5) + (6,5+1,5) 2) - (√(358,375 2
– (6,5+1,5) 2 + ½ 2,5
= √ (√(358,375 2 – 64 + 1,25) 2 + 64) – (√(358,375 2 – 64 + 1,25)
= 359,733– 358,286 + 1,25
B = 2,7 m
Z = 0,105
.
= 0,105 .
Z = 0,0176
m
Bt = n
(B+C) + Z
= 2
(2,7+1) + 0,0176
Bt = 7,42
m
Maka lebarnya
perkerasan pada tikungan II
= 7,42 – 3,5
BAB V
PERENCANAAN ALINYEMEN VERTIKAL
Pergantian dari satu kelandaian ke
kelandaian yang lain dilakukan dengan menggunakan lengkung vertikal. Lengkung
vertikal tersebut direncanakan sedemikian rupa sehinggga memenuhi keamanan dan
kenyamanan drainase.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak
titik perpotongan bagian lurus (tangen) adalah :
1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung
dimanan titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung
dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan.
Dalam perencanaan alinyemen vertikal,
diperoleh tiga buah lengkung vertikal cembung dan dua buah lengkung vertikal
cekung.
Menentukan kemiringan jalan
1.
Lengkung
Vertikal Cekung
g1 =
=
-0,2 % < 10 %
g2 =
=
-0,0603 % < 10 %
A = g
– g
= - 0,2
% – (-0,0603
%)
= - 0,1397 %
Dari Gambar 5.1 halaman
34 buku “Perencanaan Trase Jalan Raya”, dengan nilai A = - 0,1397 %
diperoleh Lv = 37 m = 40 m
Ev =
0,006985
m
v STA PLV1 berada pada STA 1+320 – (0,5 x 40) =
STA 1+300
v STA PPV1 berada pada STA 1+320
v
STA PTV1 berada pada STA 1+320 + (0,5 x 40) = STA 1+340
Elevasi as jalan pada stasiun :
v
STA 1+300 = 61,5
– (-0,2 % x 20) = 61,540 m
v STA 1+320 =
61,5 – (0,006985) = 61,493 m
v
STA 1+340 =
61,5 – (-0,0603 % x 20) = 61,512
m
2.
Lengkung
Vertikal Cembung
g1 =
=
-0,0603 % < 10 %
g2 =
=
0 % < 10 %
A = g
– g
= -0,0603 % – 0 %)
= -0,0603 %
Dari Gambar 5.2 halaman 34 buku “Perencanaan Trase Jalan Raya”, dengan
nilai A = -0,0603 % diperoleh
Lv = 37 m = 40 m.
Ev =
- 0,003 m
v STA PLV2 berada pada STA 2+220 - (0,5 x 40) =
STA 2+200
v STA PPV2 berada pada STA 2+220
v
STA PTV2 berada pada STA 2+220 + (0,5 x 40) = STA 2+240
Elevasi as jalan pada stasiun :
v
STA 2+200 =
64,5 – (-0,0603 % x 20) =
64,512 m
v
STA 2+220 =
64,5 – (- 0,003) =
64,503 m
v STA
2+240 = 64,5 – (0% x 20) = 64,5 m
Rekapitulasi Alinyemen Vertikal
Lengkung Vertikal
|
|
A (%)
|
V (km/jam)
|
Lv (m)
|
Ev (m)
|
|
g1 (%)
|
g2 (%)
|
g1 – g2
|
||||
Cekung
|
-0,2
|
-0,0603
|
- 0,1397
|
60
|
40
|
0,006985
|
Cembung
|
-0,0603
|
0
|
-0,0603
|
60
|
40
|
- 0,003
|
BAB VI
PERHITUNGAN GALIAN (CUT) DAN TIMBUNAN (FILL)
Dari sketsa jalan, dapat dilihat bagian
jalan yang terletak pada bagian galian dan timbunan. Pada jalan yang terletak
pada bagian yang tersambung dapat dicari volumenya secara menyeluruh. Seperti
bagian antara titik awal (A) dengan titik perpotongannya muka tanah dengan
rencana lintasan jalan, dicari dulu luas – luas tampang melintang, volume
adalah luas tampang dikalikan jarak antara kedua penampang, apabila diantarai
oleh dua luas tampang yang tertentu maka harus dicari luas tampang melintang
rata-rata dan dikalikan jarak antara kedua penampang yang bersangkutan.
Lain halnya bila ruas yang harus dicari
diantarai oleh dua tampang yang berbeda, yang satu galian dan yang satu
timbunan. Maka harus dicari titik potong muka tanah dengan permukaan jalan,
atau batas antara galian dan timbunan seperti pada gambar di bawah ini.(gambar
6.1)
Gambar 6.1 Batas antara galian dan timbunan
a : b = ( L - x ) : x ( a+ b) x = b. L
ax = b . L – b.x = x =
ax + bx = b.L
Dengan demikian dapat diketahui panjang bagian
galian dan timbunan, sehingga dapat dicari volumenya.
Penampang jalan yang direncanakan diperlihatkan pada Gambar 6.2 di bawah
ini.
BAB VII
PERENCANAAN PERKERASAN JALAN
7.1 Perhitungan
Tebal Lapisan Perkerasan
Untuk merencanakan Lapisan Tebal
Perkerasan pada perencanaan konstruksi jalan raya, data-datanya yaitu :
1.
Komposisi
kendaraan awal umur rencana pada tahun 2005
a. Mobil penumpang (1+1) =
2300 Kendaraan
b. Bus 8 ton (3+5) = 475 Kendaraan
c. Truk 2 as 10 ton (4+6) = 80 Kendaraan
d. Truk 2 as 13 ton (5+8) = 35 Kendaraan
e. Truk 3 as 20 ton (6+7+7) = 25 Kendaraan
Jalan
akan dibuka pada tahun 2009
2.
Klasifikasi
Jalan
Klasifikasi Jalan = 1
Jalan =
Kolektor
Lebar Jalan = 7
meter
Arah = 2
jalur, 2 arah tanpa median
3.
Umur
Rencana (5+5) tahun
4.
Pertumbuhan
lalu lintas = 5 % selama pelaksanaan
= 5 % perkembangan lalu lintas
5.
Curah
hujan rata-rata pertahun : 750 mm/tahun
6.
Kelandaian
jalan 6%
7.
Jenis
lapisan perkerasan yang digunakan :
Lapisan
permukaan : Laston
Pondasi
atas : Batu pecah kelas A
Pondasi
bawah : Sirtu Kelas B
8.
Data
CBR :
4 5 6
7 8 9
10 5 4 8
7.1.1 Menghitung
LHR ( Lintas Harian Rata-Rata)
a.
Komposisi Kendaraan awal umur rencana
(2005)
a. Mobil
penumpang (1+1) = 2300 kendaraan
b. Bus 8
ton (3+5) = 475 kendaraan
c. Truk 2
as 10 ton (4+6) = 80 kendaraan
d. Truk 2
as 13 ton (5+8) = 35 kendaraan
e. Truk 3
as 20 ton (6+7+7) = 25 kendaraan
+
= 2915 Kendaraan
b.
Perhitungan LHR pada tahun 2009
( 1+ i )n
|
a.
Mobil penumpang 2300 x ( 1 +
0,05)4 = 2796 kend/hari
b.
Bus 8 ton 475 x (
1 + 0,05)4 = 577 kend/hari
c.
Truk 2 as 10 ton 80 x (
1 + 0,05)4 = 97 kend/hari
d.
Truk 2 as 13 ton 35 x (
1 + 0,05)4 = 43 kend/hari
e. Truk 3 as 20 ton 25
x ( 1 + 0,05)4 = 30 kend/hari +
LHR 2009 = 3543 kend/hari
c.
Perhitungan LHR pada tahun pada Tahun ke 5 (2014)
LHR 2009 ( 1+ i )n
|
a.
Mobil penumpang 2796 x ( 1 +
0,05)5 = 3568 kend/hari
b.
Bus 8 ton 577 x ( 1 + 0,05)5 =
737 kend/hari
c.
Truk 2 as 10 ton 97 x
( 1 + 0,05)5 = 124
kend/hari
d.
Truk 2 as 13 ton 43 x ( 1 + 0,05)5 =
54 kend/hari
e. Truk 3 as 20 ton 30
x ( 1 + 0,05)5 = 39 kend/hari
+
LHR 2014 = 4522 kend/hari
d.
Perhitungan LHR pada tahun pada Tahun ke 5 berikutnya (2019)
LHR 2014 ( 1+ i )n
|
a.
Mobil penumpang 3568 x ( 1 + 0,05)5 =
4554 kend/hari
b.
Bus 8 ton 737 x ( 1 + 0,05)5 =
940 kend/hari
c.
Truk 2 as 10 ton 124 x ( 1 + 0,05)5 =
158 kend/hari
d.
Truk 2 as 13 ton 54 x (
1 + 0,05)5 = 69 kend/hari
e. Truk 3 as 20 ton 39
x ( 1 + 0,05)5 = 49
kend/hari +
LHR 2019
=
5772 kend/hari
7.1.2 Menentukan
Angka Ekivalen
Angka
ekivalen per sumbu dapat dilihat pada tabel 3.1.
Berdasarkan tabel 3.1
didapat angka ekivalen :
a.
Mobil penumpang (1+1) =
0,0002 + 0,0002 = 0,0004
b.
Bus 8 ton (3+5) =
0,0183 + 0,1410 = 0,1593
c.
Truk 2 as 10 ton (4+6) = 0,0577 + 0,2923 = 0,35
d.
Truk 2 as 13 ton (5+8) =
0,1410 + 0,9238 = 1,0648
e.
Truk 3 as 20 ton (6+7+7) = 0,2923
+ 1,083 = 1,0375
7.1.3
Menentukan LEP
Dari data yang telah di dapat, dapat dihitung
nilai LEP yaitu :
a.
Mobil penumpang 2795,7 x 0,5 x
0,0004 =
0,55913
b.
Bus 8 ton 577 x
0,5 x 0,1593 = 45,9872
c.
Truk 2 as 10 ton 97 x 0,5 x 0,35 = 17,0171
d.
Truk 2 as 13 ton 43 x 0,5 x 1,0648 = 22,6497
e. Truk 3 as 20 ton 30 x 0,5 x 1,03753 = 20,8961 +
LEP 2009 = 107,109
7.1.4
Menentukan LEA
Perhitungan LEA untuk 5 tahun (2014)
a.
Mobil penumpang 3568 x 0,5 x
0,0004 = 0,71361
b.
Bus 8 ton 737 x
0,5 x 0,1593 = 58,6926
c.
Truk 2 as 10 ton 124 x 0,5 x
0,35 = 21,7186
d.
Truk 2 as 13 ton 54x 0,5 x 1,0648 = 28,9074
e. Truk 3 as 20 ton 39 x 0,5 x 1,0375 = 26,6693 +
LEA
2014 = 136,701
Perhitungan
LEA untuk 10 tahun (2019)
a.
Mobil penumpang 4554 x 0,5 x
0,0004 = 0,91077
b.
Bus 8 ton 940 x 0,5 x 0,1593 = 74,9082
c.
Truk 2 as 10 ton 158 x 0,5 x
0,35 = 27,719
d.
Truk 2 as 13 ton 69 x 0,5 x 1,0648 = 36,894
e. Truk 3 as 20 ton 49 x 0,5 x 1,03753 =
34,0375 +
LEA
2019 = 174,47
7.1.5
Menentukan LET
LET =
(LEP + LEA) / 2
|
Dari data, dapat dihitung LET yaitu :
LET 5 =
½ ( LEP + LEA5)
= ½ (107,109+
136,701)
= 121,9
LET 10 =
½ ( LEP + LEA 10)
= ½ (107,109+ 174,47)
= 87,3
7.1.6
Menentukan LER
LER = LET
x UR/10
LER5 =
LET5 x 5/10
= 121,905
x 0,5
= 60,9
LER5 =
1,67 x 60,95
= 101,8
LER10 =
LET10 x 10/10
= 87,235x
1
= 87,3
LER10 =
2,5 x 87,235
= 218,1
7.1.7
Penentuan Harga CBR
Dari
data yang didapat data CBR sebesar : 4
5 6 7
8 9 10
5 4 8
CBR rata-rata = 4+5+6+7+8+9+10+5+4+8
10
= 6,6
CBR max =
10
CBR min =
4
Untuk nilai R tergantung dari jumlah data yang
terdapat dalam 1 segmen. Besarnya nilai R dapat dilihat pada tabel 3.2
CBR segmen = CBR rata-rata – CBR max – CBR min
R
= 6,6
– 10 – 4
3,18
= 4,7
7.1.8
Menentukan Tebal Lapisan Perekerasan
a.
Menentukan Nilai DDT (Daya Dukung Tanah)
Dari
hasil pemeriksaan data CBR, kita dapat menentukan nilai DDT dengan cara berikut
:
DDT = 4,3 . Log 4,7 + 1,7
= 4,3 x0,672 + 1,7
DDT = 4,6
b.
Menentukan Faktor Regional (FR)
%
kendaraan berat = Jumlah kendaraan berat x 100 %
Jumlah semua kendaraan
= (615) x 100%
2915
= 21,1 %
Dari data yang diberikan diketahui :
-
Curah
hujan 750 mm/thn = iklim I < 900/thn
-
Landai
Jalan 6 % = Kelandaian II ( 6 - 10 % )
Nilai FR dapat dilihat pada tabel
3.3. Dari Tabel 3.3 maka didapat Faktor
Regional adalah = 1
c.
CBR tanah dasar rencana
Nilai CBR yang di dapat melalui
metode grafis dan analitis adalah = 4,7
d.
Indeks Permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat dari
nilai LER dan tabel 3.4. Nilai LER untuk 5 tahun kedepan adalah 60,9. Nilai LER untuk 10 tahun kedepan adalah 312,1. Dengan klasifikasi jalan kolektor.
Klasifikasi jalan arteri,
LER5
= 60,9 = 10 – 100, IP = 1,5
– 2,0
LER10 = 218,1 = 100 –
1000, IP = 2
IP yang digunakan adalah = 2
e.
Indeks Permukaan pada awal umur rencana
(ITP)
ITP
dapat ditentukan melalui grafik nomogram. Untuk menentukan ITP dari grafik
nomogram di perlukan data sebagai berikut, IP, IPo, DDT, LER, dan FR. Untuk
mendapatkan angka Ipo, dapat dilihat pada tabel 3.5.
Dari tabel dan grafik nomogram di dapat hasil :
-
Untuk 5 tahun kedepan
IP = 2
IPo = 3,9 –
3,5
DDT = 4,6
LER5 =
60,9
FR = 1
Maka diperoleh
ITP = 6,4 (nomogram 3)
-
Untuk 10 tahun kedepan
IP = 2
IPo = 3,9 –
3,5
DDT = 4,6
LER10 = 218,1
FR = 1
Maka diperoleh
ITP = 7,8 (nomogram 3)
f.
Menetapkan Tebal Perkerasan
Variabel-variabel untuk menetapkan lapisan
tebal perkerasan dilihat pada tabel 3.6, 3.7 dan tabel 3.8.
Dari
tabel kita dapat menentukan nilai a1, a2 dan a3. dan
juga nilai d1, d2 dan nilai d3.
Untuk 5 Tahun
Koefisien kekuatan relatif, dilihat dari
tabe koefisien relatif
- Lapisan
permukaan : Laston, MS 744 a1 = 0,40
- Lapisan
Pondasi atas : Batu pecah kelas A a2 = 0,14
- Lapisan
Pondasi bawah : Sirtu kelas B a3 = 0,12
Tebal lapisan minimum dilihat dari ITP = 6,4
- Lapisan
permukaan : Laston, MS 744 d1 = 5
- Lapisan
Pondasi atas : Batu pecah kelas A d2 = 20
- Lapisan
Pondasi bawah : Sirtu kelas B d3 = 20
ITP = a1 x d1 +
a2 x d2 + a3 x d3
6,4 = 2 + 2,8 + 0,12 d3
= 4,8 + 0,12 d3
= 6,4 – 4,8
0,12
d3 = 13 cm
Untuk 10 Tahun
Koefisien kekuatan relatif, dilihat dari
tabel koefisien relatif
- Lapisan
permukaan : Laston, MS 744 a1 = 0,40
- Lapisan
Pondasi atas : Batu pecah kelas A a2 = 0,14
- Lapisan
Pondasi bawah : Sirtu kelas B a3 = 0,12
Tebal lapisan minimum dilihat dari ITP = 7,8
- Lapisan
permukaan : Laston, MS 744 d1 = 7,5
- Lapisan
Pondasi atas : Batu pecah kelas A d2 = 20
- Lapisan
Pondasi bawah : Sirtu kelas B d3 = 20
ITP = a1 x d1 +
a2 x d2 + a3 x d3
7,8
= 3 + 2,8 + 0,12 d3
= 5,8
+ 0,12 d3
= 7,8 – 5,8
0,12
d3 = 16,6 cm = 17 cm
Untuk 10 Tahun
7,8
= 0,4 d1 +
0,14 d2 + 0,12 d3
7,8
= 0,4 d1 + 2,8 + 2,04
= 4,84 + 0,4 d1
= 7,8 – 4,84
0,4
d1 = 7,4 cm = 7 cm
d0 = 7,5
- 7
d0 = 0,5 cm = 3 cm
(syarat tebal minimum)
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Tanjakan terbesar yaitu 0,20 %, berarti memenuhi persyaratan yang diizinkan
yaitu <10%
2. Untuk perhitungan volume galian dan
timbunan, nilai total yang didapat untuk galian adalah 48.778,30 m3 dan untuk timbunan adalah 19.591,29 m3.
8.2
Saran
Setelah mengerjakan perhitungan pada perencanaan trase jalan raya ini,
penulis menyarankan untuk mendapatkan volume galian dan timbunan yang seimbang harus
dilakukan lagi penyesuaian trase atau galian dan timbunan sehingga dapat
diperoleh volume galian dan timbunan yang mendekati. Kalaupun tidak dapat
seimbang diusahakan galian lebih besar dari pada timbunan, karena selain jalan
yang dibuat dari tanah yang digali lebih kuat dari pada jalan yang dibuat dari
tanah yang ditimbun juga karena pertimbangan faktor ekonomisnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bukhari dan Maimunah, 2005, Perencanaan Trase Jalan Raya, Banda
Aceh: Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
Sukirman, Silvia, 1999, Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Bandung:
Penerbit Nova.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar